Jumat, 20 April 2018

Fiqih tentang hudud


HUDUD DAN HIKMAHNYA

Menurut kitab :
جَمْعُ حَدٍّ وَهُوَ لُغَةً الْمَنْعُ وَسُمِّيَتِ الْحُدُوْدُ بِذَلِكَ لِمَنْعِهَا مِنِ ارْتِكَابِ الْفَوَاحِشِ
                     Lafadz al hudud adalah bentuk jama’ dari lafadz “had”. Had secara bahasa bermakna mencegah.Disebut dengan nama Had, karena bisa mencegah dari melakukan perbuatan-perbuatan keji.              [1]
                     Berbagai hukuman perbuatan maksiat  dinamakan had  karena  umumnya  hukuman-hukuman  tersebut  dapat mencegah pelaku maksiat untuk kembali kepada kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Hukuman had merupakan media penjera pelaku maksiat hingga ia tak mau mengulangi kemaksiatannya.Sedangkan menurut istilah syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang telah ditetapkan Allah sebagai sanksi hukum terhadap pelaku tindak kejahatan selain pembunuhan dan penganiayaan. Tujuan inti dari hudud yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia. Dalam istilah Fikih, berbagai tindak kejahatan yang diancam dengan hukuman had diistilahkan dengan jaraimul hudud. Macam  jaraimul  hudud yang senantiasa dikupas dalam berbagai referensi Fikih adalah;
1.   Zina
2.  Qadhaf (menuduh zina)
3.   Mencuri
4.   Meminum khamr
5.   Murtad
6.   Bughat (Pemberontakan)
7.   Hirabah (mengambil harta orang lain dengan kekerasan / ancaman senjata, dan terkadang diikuti dengan aksi pembunuhan).
                     Hukuman dalam bentuk had berbeda dengan hukuman dalam bentuk qishash, walaupun sebagian ada kesamaan jenisnya. Karena  had  merupakan hak Allah SWT., sedangkan qishash adalah hak manusia sebagai hamba Allah SWT. Had tidak bisa gugur karena dimaafkan oleh pihak yang dirugikan. Sedangkan qishash dapat gugur jika pihak yang dirugikan memaaβkan.
I.     ZINA
a.    Pengertian Zina
                        Zina adalah perbuatan dengan cara memasukkan alat kelamin Laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan yang mendatangkan syahwat, dalam  persetubuhan yang haram, yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan yang sah.Maksud dari perempuan yang mendatangkan syahwat adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan baik yang dewasa (baligh) ataupun yang masih kecil. Dari pengertian ini bisa disimpulkan bahwa persetubuhan dengan hewan ataupun mayat tidak bisa dikategorikan zina. Pelaku tindak keji tersebut tidak terkena had.
                        Walaupun demikian, hakim atau penguasa berhak men-ta’zir (menghukumnya dengan pertimbangan maslahat)  hingga ia jera dan menyadari bahwa perbuatan menyetubuhi hewan ataupun mayat adalah tindakan haram yang harus dihindari.Adapun maksud dari persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri (hubungan seksual di luar pernikahan atau perkawinan yang sah). Sedangkan maksud dari “bukan karena syubhat” adalah perzinaan yang terjadi bukan karena seorang laki-laki mengira bahwa wanita yang ia setubuhi adalah pasangan yang sah untuknya, seperti istrinya. Jika seorang laki-laki menyetubuhi seorang wanita yang ia kira adalah istrinya, maka had tidak dikenakan untuknya.
b.   Hukum Zina
Para ulama sepakat bahwa zina hukumnya haram dan termasuk salah satu bentuk dosa besar. Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا ٣٢
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (Qs. Al-isra`: 32)
Di antara hadis tentang keharaman zina yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud berikut:
Saya  (Abdullah  Ibnu  Mas’ud)  bertanya:  “Ya  Rasulullah  dosa  apakah  yang  paling  besar?”  Nabi  menjawab:  “Engkau  menyediakan  sekutu  bagi  Allah  Swt.,  padahal  dia menciptakan  kamu.”  Saya  bertanya  lagi:  ”Kemudian  (dosa)  apalagi?”  Nabi  menjawab:  ”Engkau  membunuh  anakmu  karena  khawatir  jatuh  miskin”  Saya  bertanya lagi: “Kemudian apalagi?” Beliau menjawab: “Engkau berzina dengan istri etanggamu.” (HR.Bukhari dan Muslim)
c.     Dasar Penetapan Hukum Zina
Penerapan had  bagi  yang  melakukan  perbuatan  zina  (laki-laki  dan perempuan)  dapat  dilaksanakan  jika  tertuduh  diyakini  benar-benar melakukan perzinaan. Untuk itu diperlukan penetapan secara syara’. Namun Rasulullah sangat hati-hati dalam melaksanakan had zina ini. Beliau tidak akan melaksanakan had zina sebelum yakin bahwa tertuduh benar-benar berbuat zina.
Berikut  dasar-dasar  yang  dapat  digunakan  untuk  menetapkan  bahwa seseorang telah benar-benar berbuat zina:
1.  Adanya empat orang saksi laki-laki yang adil. Kesaksian mereka harus sama dalam hal tempat, waktu, pelaku dan cara melakukannya. Firman Allah SWT:
وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡ
Artinya : Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yangmenyaksikannya). (QS. An-nisa:15)
2. Pengakuan pelaku zina, sebagaimana dijelaskan dalam hadis  Jabir bin Abdillah r.a. berikut ini:
     “Dari  Jabir  bin  Abdullah  al-Anshari  ra.  Bahwa  seorang  laki-laki  dari  Bani  Aslam  datang  kepada  Rasulullah  dan  menceritakan  bahwa  ia  telah  berzina.  Pengakuan  ini  diucapkan  empat  kali.  Kemudian  Rasul  menyuruh  supaya  orang  tersebut dirajam dan orang tersebut adalah muhshan.” (HR. al-Bukhari)
Sebagian ulama berpendapat bahwa kehamilan perempuan tanpa suami dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina. Akan tetapi Jumhu Ulama’ berpendapat  sebaliknya.  Kehamilan  saja  tanpa  pengakuan  atau  kesaksian empat orang yang adil tidak dapat dijadikan dasar penetapan zina.Had zina dapat dijatuhkan terhadap pelakunya, jika telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.  Pelaku zina sudah baligh dan berakal
2.  Perbuatan zina dilakukan tanpa paksaan
3. Pelaku zina mengetahui bahwa konsekuensi dari perbuatan zina adalah had
4. Telah  diyakini  secara  syara’  bahwa  pelaku  tindak  zina  benar-benar melakukan perbuatan keji tersebut.
d.    Macam-macam Zina dan Had-nya
Dalam  kitab Mattan Al-Gayyah Wa Taqrib:
وَالزِّنَى عَلَى ضَرْبَيْنِ مُحْصَنٍ وَغَيْرِ مُحْصَنٍ

 Zina ada dua macam, zina muhshan dan gairu muhshan.[2]
1.  Zina Mukhshan
Perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang yang sudah menikah. Ungkapan “seorang yang sudah menikah” mencakup suami, istri, janda, atau duda. Had (hukuman) yang diberlakukan kepada pezina mukhshan adalah rajam.  Teknis penerapan hukuman rajam yaitu, pelaku zina mukhshan dilempari batu yang berukuran sedang hingga benar-benar mati. Batu yang digunakan tidak  boleh  terlalu  kecil  sehingga  memperlama  proses  kematian  dan hukuman.  Sebagaimana  juga  tidak  dibolehkan  merajam  dengan  batu besar  hingga  menyebabkan  kematian  seketika  yang  dengan  itu  tujuan “memberikan pelajaran” kepada pezina mukhshon tidak tercapai.
2.  Zina Ghairu Mukhshan
Zina yang dilakukan oleh seseorang yang belum pernah menikah. Para ahli Fikih sepakat bahwa had (hukuman) bagi pezina ghairu  mukhshan  baik  laki-laki  ataupun  perempuan  adalah  cambukan sebanyak 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Seperti sabda nabi dibawah ini:
“  Dari  Zaid  bin  Khalid  Al-Juhaini,  dia  berkata  :  “Saya  mendengar  Nabi  menyuruh  agar  orang  yang  berzina  dan  ia  bukan  muhshan,  didera  100  kali  dan  diasingkan selama satu tahun.”(HR.al-Bukhari)
e.    Hikmah Diharamkannya Zina
Zina merupakan sumber berbagai tindak kemaksiatan. Di antara hikmah terpenting diharamkannya zina adalah:
1.  Memelihara  dan  menjaga  keturunan  dengan  baik.  Karena  anak  hasil perzinaan pada umumnya kurang terpelihara dan terjaga.
2.  Menjaga harga diri dan kehormatan manusia.
3.  Menjaga ketertiban dan keteraturan rumah tangga.
4.  Memunculkan  rasa  kasih  sayang  terhadap  anak  yang  dilahirkan  dari pernikahan sah.
II.   QADZAF
a.    Pengertian Qadzaf
Secara bahasa qadhaf yaitu melempar dengan batu atau yang semisalnya (ar-ramyu  bil  hijarah  wa  ghairiha). Adapun menurut istilah, qadhaf adalah melempar tuduhan zina kepada seorang yang dikenal baik secara terang-terangan.
b.    Hukum Qadzaf
 Di antara dalil-dalil yang menegaskan keharaman qadzaf adalah:
•  Firman Allah SWT dalam an-Nur ayat 23:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡغَٰفِلَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ لُعِنُواْ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ٢٣
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar (QS. An-nur:23)
• Sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.:
”Dari  Abu  Hurairah  ra.  Nabi  bersabda:  “Jauhilah  olehmu  tujuh  (perkara)  yang  membinasakan”,  Nabi  ditanya:  “Apa  saja  perkara  itu,  ya  Rasulullah?”  Rasul  menjawab:  “Menyekutukan  Allah,  sihir,  membunuh  jiwa  yang  diharamkan  Allah  kecuali dengan jalan yang sah menurut syara’, memakan harta anak yatim, berpaling dari  medan  perang,  dan  menuduh  zina  wanita  baik-baik  yang  tak  pernah  ingat  berbuat keji, lagi beriman.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
c.     Had Qadzaf
Had (hukuman) bagi pelaku qadzaf adalah cambuk sebanyak 80 kali bagi yang merdeka,  dan cambuk 40 kali bagi budak, karena hukuman budak setengah hukuman orang yang merdeka.Allah SWT berfirman dalam surat an-Nur ayat 4:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.( QS. An-nur:4)
d.    Syarat-syarat berlakunya Had Qadzaf
Ada  beberapa  syarat  mengenai had   qadzaf   yang  dijatuhkan  terhadap penuduh zina sebagai berikut:
1. Tertuduh berzina adalah mukhshan. Pengertian mukhshan dalam qadzaf berbeda dengan mukhshan dalam masalah zina. Dalam qadzaf, mukhshan adalah orang baik yang benar-benar tidak berzina. Adapun mukhshan dalam pembahasan zina adalah seorang yang sudah pernah menikah.
2.  Penuduh baligh dan berakal
3. Tuduhan berzina benar-benar sesuai aturan syara’, di mana saksi dalam kasus qadzaf adalah dua orang laki-laki adil yang menyatakan bahwa penuduh telah menuduh orang baik-baik berbuat zina atau pengakuan dari penuduh sendiri bahwa dirinya telah menuduh orang baik-baik berbuat zina.
f.     Gugurnya Had Qadzaf
Seorang yang menuduh orang baik-baik berzina bisa terlepas darihad qadzaf jika salah satu dari tiga hal di bawah ini terjadi:
1.  mengemukakan empat  orang  saksi  laki-laki  adil  bahwa yang  tertuduh benar-benar telah berzina.
2.  dimaafkan oleh yang tertuduh
3. orang yang menuduh istrinya berzina terlepas dari hukuman dengan jalan li`an.  Li’an (sumpah seorang suami atas nama Allah SWT. sebanyak 4 kali).
g.    Hikmah Dilarangnya Qadzaf
Timbulnya efek negatif  yang dimunculkan qadzaf adalah tercemarnyanama baik tertuduh, serta jatuhnya harga diri dan kehormatannya di mata masyarakat. Karenanya, Islam mengharamkan qadzaf dan menetapkan had bagi pelakunya. Diantara hikmah terpenting penetapan had qadzaf adalah:
1.  Menjaga kehormatan diri seseorang di mata masyarakat
2. Agar seseorang tidak begitu mudah melakukan kebohongan dengan cara menuduh orang lain berbuat zina
3. Agar si penuduh merasa jera dan sadar dari perbuatannya yang tidak terpuji
4.  Menjaga keharmonisan pergaulan antar sesama anggota masyarakat
5.  Mewujudkan keadilan dikalangan masyarakat berdasarkan hukum yang
Benar.
III.  MEMINUM MINUMAN  KERAS
a.    Pengertian Khamr
Secara definisi bahasa khamr mempunyai arti penutup akal. Sedangkan menurut istilah syar’i khamr adalah segala jenis minuman atau selainnya yang memabukkan dan menghilangkan fungsi akal. Berpijak dari deβinisi syar’i ini, cakupan khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan dan membuat manusia tidak sadar, semisal ganja, heroin, obat bius dan lain sebagainya bisa disebut khamr.Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiap-tiap yang memabukkan disebut khamr, dan tiap-tiap khamr hukumnya haram.”(HR. Muslim)
b.    Hukum Minuman Keras
Sudah menjadi ijma’ ulama bahwa hukum minuman keras (khamr) haram. Mengkonsumsi khamr merupakan dosa besar. Diantara dalil yang menegaskan keharaman minuman keras adalah:
•  Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠
  Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
• Sabda Rasulullah Saw.
“Dari Abdullah bin Umar, Rasullah bersabda: “Barang siapa meminum khamr di  dunia  dan  ia  tidak  bertaubat  maka  (Allah) mengharamkannya  di  akhirat”(HR.  Muslim)
c.     Had Minum Khamr
Sebagaimana ulama telah sepakat akan haramnya khamr, mereka juga sepakat bahwa orang yang meminumnya wajib dikenai hukuman (had), baik ia mengkonsumsi sedikit atau banyak. Landasan syar’i terkait hal ini adalah:
•  Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Anas bin Malik ra, dihadapkan kepada Nabi saw seorang yang telah minum  khamr,  kemudian  beliau  menjilidnya  dengan  dua  tangkai pelepah  kurma  kira-kira 40 kali.” (Muttafaq Alaih)
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah pukulan bagi peminum khamr. Berikut ringkasan perbedaan pendapat mereka:
1.  Jumhrul  ulama 
(mayoritas ulama) diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jumlah pukulan dalam had minuman keras 80 kali.
Alasan mereka, bahwa para sahabat di zaman Umar bin Khatthab pernah bermusyawarah  untuk  menetapkan  seringan-ringannya  hukuman  had. Kemudian mereka bersepakat bahwa jumlah minimal had adalah pukulan sebanyak 80 kali. Dari kesepakatan inilah, selanjutnya Umar menetapkan bahwa had bagi peminum khamr adalah cambuk sebanyak 80 kali.
2. Imam syafi’i, Abu Daud dan Ulama’ Dzahiriyyah
berpendapat bahwa jumlah had minum khamr  adalah 40 kali cambuk, tetapi imam/hakim boleh menambahkannya sampai 80 kali. Tambahan 40 kali merupakan ta’zir yang merupakan hak imam/hakim.
Alat pukul yang digunakan untuk menghukum peminum khamar bisa berupa sepotong kayu, sandal, sepatu, tongkat, tangan, atau alat pukul lainnya.
d.    Hikmah Diharamkannya Minuman Khamr
Diantara hikmah terpenting diharamkannya minum khamr adalah:
1.   Masyarakat terhindar dari kejahatan seseorang yang diakibatkan pengaruh minum khamr. Peminum khamr yang sudah sampai tingkat “pecandu” tidak akan mampu menghindar dari tindak kejahatan/kemaksiatan. Karena khamr merupakan induk segala macam bentuk kejahatan. Maka, ketika khmar diharamkan dan kebiasaan meminumnya bisa dihilangkan, secara otomatis berbagai tindak kejahatan akan sirna, atau paling minimal menurun drastis.
2.    Menjaga  kesehatan  jasmani  dan  rohani  dari  berbagai  penyakit  yang disebabkan  oleh  pengaruh  minum  khamr  seperti  busung  lapar,  hilang ingatan, atau berbagai penyakit berbahaya lainnya.
3.  Masyarakat  terhindar  dari  siksa  kebencian  dan  permusuhan  yang diakibatkan oleh pengaruh khamr. Sebagaimana maklum adanya, khamr selain mengakibatkan berbagai macam penyakit juga menjadikan mental pecandunya tidak stabil. Pecandu khamr akan mudah tersinggung dan salah paham hingga dirinya akan selalu diselimuti kebencian dan permusuhan.
4.    Menjaga hati agar tetap bersih, jernih, dan dekat kepada Allah ta’ala. Karena khamr akan mengganggu kestabilan jasmani dan rohani. Hati pecandu khamr hari demi hari akan semakin jauh dari Allah. Hatinya menjadi gelap, keras hingga ia tak sungkan-sungkan melakukan pelanggar terhadap aturan syar’i.
IV.   MENCURI
a.    Pengertian Mencuri
Secara  bahasa  mencuri  adalah  mengambil  harta  atau  selainnya secara sembunyi-sembunyi.
dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa praktik pencurian
yang  pelakunya  diancam  dengan  hukuman had memiliki  beberapa  syarat berikut ini:
1.  Pelaku pencurian adalah mukallaf
2.  Barang yang dicuri milik orang lain
3.  Pencurian dilakukan dengan cara diam-diam atau sembunyi-sembunyi
4.  Barang yang dicuri disimpan di tempat penyimpanan
5.   Pencuri tidak memiliki andil kepemilikan terhadap barang yang dicuri. Jika pencuri memiliki andil kepemilikan seperti orang tua yang mencuri harta anaknya maka orang tua tersebut tidak dikenai hukuman had, walaupun ia mengambil barang anaknya yang melebihi nishab pencurian.
6. Barang yang dicuri mencapai jumlah satu nisab Praktik pencurian yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas pelakunya tidak dikenai had. Pun demikian, hakim berhak menjatuhkan hukuman ta’zir kepadanya.
b.    Pembuktian Praktik Pencurian
Disamping  syarat-syarat  di  atas, had mencuri  tidak  dapat  dijatuhkan sebelum tertuduh praktik pencurian benar-benar diyakini-secara syara’- telah melakukan pencurian yang mengharuskannya dikenai had. Tertuduh harus dapat dibuktikan melalui salah satu dari tiga kemungkinan berikut:
1.  Kesaksian dari dua orang saksi yang adil dan merdeka
2.  Pengakuan dari pelaku pencurian itu sendiri
3.  Sumpah dari penuduhJika terdakwa pelaku pencurian menolak tuduhan tanpa disertai sumpah, maka hak sumpah berpindah kepada penuduh. Dalam situasi semisal ini, jika penuduh berani bersumpah, maka tuduhannya diterima dan secara hukum tertuduh terbukti melakukan pencurian
c.     Had Mencuri
Jika pencurian telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, maka pelakunya wajib dikenakan had mencuri, yaitu potong tangan. Allah Swt. berfirman dalam surat al-Maidah ayat 38:
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٣٨
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(QS.Al-maidah:38).
dalam hadis Rasulullah  dijelaskan sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah bersabda mengenai pencuri: "jika ia mencuri (kali pertama) potonglah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri (kali  kedua)  potonglah  salah  satu  kakinya,  jika  ia  mencuri  (kali  ketiga)  potonglah  tangannya (yang lain), kemudian jika ia mencuri (kali keempat) potonglah kakinya (yang lain)." (HR. al-Daruqutni)
Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa had mencuri mengikuti urutan sebagaimana berikut:
1.   Potong tangan kanan jika pencurian baru dilakukan pertama kali
2.   Potong kaki kiri jika pencurian dilakukan untuk kali kedua
3.   Potong tangan kiri jika pencurian dilakukan untuk kali ketiga
4.   Potong kaki kanan jika pencurian dilakukan untuk kali keempat
5.  Jika pencurian dilakukan untuk kelima kalinya maka hukuman bagi pencuri adalah ta’zir dan ia dipenjarakan hingga bertaubat.
Sebagian ulama lain diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukuman potong tangan dan kaki hanya berlaku sampai pencurian kedua, yakni potong tangan kanan untuk pencurian pertama dan potong kaki kiri untuk pencurian kedua, sedangkan untuk pencurian ketiga dan seterusnya hukumannya adalah ta’zir.
d.    Nisab (kadar) Barang yang Dicuri
Para ulama berbeda pendapat terkait nisab (kadar minimal) barang yang
dicuri.
•  Menurut madzhab Hanafi, nishab barang curian adalah 10 dirham
• Menurut jumhur ulama, nishab barang curian adalah ¼ dinar emas, atau tiga dirham perak.Dalil yang dijadikan sandaran jumhur ulama terkait penetapan had nishab ¼ dinar emas atau tiga dirham perak adalah:
•  Hadis yang diriwayatkan imam Muslim dalam kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam kitab musnadnya, dimana Rasulullah Saw. bersabda:
 “Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW. Menjatuhkan had potong tangan pada pencuri seperempat dinar atau lebih.” (H.R. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah)
• Dan dalam riwayat imam Bukhori :
“Tangan dipotong (pada pencurian) ¼ dinar atau lebih.”
Adapun tentang harga dinar atau dirham selalu berubah-ubah. Satu dinar emas diperkirakan seharga 10-12 dirham. Jika dihargakan dengan emas, satu dinar setara dengan 13,36 gram emas. Jadi diperkirakan nishab barang curian adalah 3,34 gram emas (1/4 dinar).
e.    Pencuri yang Dimaafkan
Ulama  sepakat  bahwa  pemilik  barang  yang  dicuri  dapat  memaafkan pencurinya, sehingga pencuri bebas dari had sebelum perkaranya sampai ke pengadilan. Karena had pencuri merupakan hak hamba (hak pemilik barang yang dicuri).Jika perkaranya sudah sampai ke pengadilan, maka had pencuri pindah dari hak hamba ke hak Allah. Dalam situasi semisal ini, had tersebut tidak dapat gugur walaupun pemilik barang yang dicuri memaafkan pencuri, hadis riwayat Abu Dawud dan Nasa’i berikut:
Diriwayatkan   dari   Amr   bin   Syuaib,   dari   ayahnya,   dari   kakeknya:   “Sesungguhnya  Rasulullah  saw  bersabda  :  “Maafkanlah  had  selama  masih  berada  ditanganmu, adapun had yang sudah sampai kepadaku, maka wajib dilaksanakan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
f.     Hikmah Had bagi Pencuri
 Adapun hikmah dari had mencuri antara lain sebagai berikut:
1.  Seseorang tidak akan dengan mudah mengambil barang orang lain karena hal tersebut akan memunculkan efek ganda. Ia akan menerima sanksi moral yaitu malu, sekaligus mendapatkan sanksi yang merupakan hak adam yaitu had.
2.   Seseorang akan memahami betapa hukum Islam benar-benar melindungi hak milik seseorang. Karunia Allah terkait harta manusia bukan hanya dari sisi jumlahnya, lebih dari itu, saat harta tersebut telah dimiliki secara syah melalui jalur halal, maka ia akan mendapatkan jaminan perlindungan.
3.  Menghindarkan manusia dari sikap malas. Mencuri selain merupakan cara singkat memiliki sesuatu secara tidak syah, juga merupakan perbuatan tidak terpuji yang akan memunculkan sifat malas. Sifat ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam
4.  Membuat jera pencuri hingga dirinya terdorong untuk mencari rizki yang halal.
V.    PENYAMUN, PERAMPOK, DAN PEROMPAK
a.    Pengertian Penyamun, Perampok, dan Perompak
Penyamun, perampok, dan perompak adalah istilah yang digunakan untuk pengertian “mengambil harta orang lain dengan menggunakan cara kekerasan atau mengancam pemilik harta dengan senjata dan terkadang disertai dengan pembunuhan”. Perbedaannya hanya ada pada tempat kejadiannya;
•  menyamun dan merampok di darat
•  sedangkan merompak di laut
Dalam kajian fikih, praktik menyamun, merampok, atau merompak masuk dalam pembahasan hirabah atar qatut tharıq (penghadangan di jalan).
b.    Hukum Penyamun, Perampok, dan Perompak
Seperti  diketahui  merampok,  menyamun  dan  merompak  merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa. Kala seseorang merampas harta orang lain, dosanya bisa lebih besar dari dosa seorang pencuri, karena dalam praktik perampasan harta ada unsur kekerasan. Jika perampas harta sampai membunuh korbannya, maka dosanya menjadi lebih besar lagi, karena ia telah melakukan perbuatan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan agama. Maka wajar adanya, jika perampok, penyamun, dan perompak mendapatkan hukuman ganda. Ia dikenai had, dan diancam hukuman akhirat yang berupa adzab dahsyat. Allah Swt. berfirman:
ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣
Artinya : Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (QS. Al-Maidah : 33)
c.     Had Perampok, Penyamun, dan Perompak
Had perampok, penyamun, dan perompak secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 33:
ِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣
Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Dari ayat di atas para ulama sepakat bahwa had perampok, penyamun, dan perompak berupa : potong tangan dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh dan diasingkan dari tempat kediamannya.Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai had yang disebutkan dalam ayat tersebut, apakah ia bersifat tauzî’î dimana satu hukuman disesuaikan dengan perbuatan yang dilakukan seseorang, atau had tersebut bersifat takhyiri sehingga seorang hakim bisa memilih salah satu dari beberapa pilihan hukuman yang ada.Jumhur ulama sepakat bahwa hukuman yang dimaksudkan dalam suratal-Maidah ayat 33 bersifat tauz’i. Karenanya, had dijatuhkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan seseorang. Berikut simpulan akhir pendapat mayoritas ulama terkait had yang ditetapkan untuk perampok, penyamun, dan perompak:
1.  Jika seseorang merampas harta orang lain dan membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib
2.  Jika seseorang tidak sempat merampas harta orang lain akan tetapi ia membunuhnya, maka hadnya adalah dihukum mati.
3. Jika seseorang merampas harta orang lain dan tidak membunuhnya maka hadnya adalah dihukum potong tangan dan kaki secara menyilang.
4.   Jika seseorang tidak merampas harta orang lain dan tidak juga membunuhnya semisal kala ia hanya ingin menakut-nakuti, atau kala ia akan melancarkan aksi jahatnya ia tertangkap lebih dulu, dalam keadaan seperti ini, ia dijatuhi hukuman had dengan dipenjarakan atau diasingkan ke luar wilayahnya.Perlu dijelaskan bahwa hukuman mati terhadap perampok, penyamun, dan perompak yang membunuh korbannya berdasarkan had bukan qishash, sehingga tidak dapat gugur walaupun dimaafkan leh keluarga korbanSebagian  ulama  salaf  berpendapat  bahwa had perampok,  penyamun, perompak yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 33 bersifat takhyiri hingga hakim boleh memilih salah satu jenis hukuman yang disebutkan dalam ayat tersebut.
d.    Perampok, Penyamun, dan Perompak Yang Taubat
Taubatnya perampok, penyamun, dan perompak setelah tertangkap tidak dapat  mengubah  sedikitpun  ketentuan  hukum  yang  ada  padanya.  Namun jika mereka bertaubat sebelum tertangkap, semisal menyerahkan diri dan menyatakan taubat dengan kesadaran sendiri, maka gugurlah had. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt.:        
إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبۡلِ أَن تَقۡدِرُواْ عَلَيۡهِمۡۖ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣٤
Artinya : kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
               Diisyaratkan dalam ayat tersebut bahwa Allah Swt. akan mengampuni mereka (perampok, penyamun, perompak) yang bertaubat sebelum tertangkap. Ayat ini menunjukkan bahwa had yang merupakan hak Allah dapat gugur, jika yang bersangkutan bertaubat sebelum tertangkap.
e.    Hikmah Pengharaman Merampok, Menyamun dan Merompak
Prinsipnya, hikmah pengharaman merampok, menyamun, dan merompaksama dengan hikmah pengharaman mencuri.
VI. BUGHAT (PEMBANGKANG)
a.    Pengertian Bughat
                 Kata  bugootun adalah jamak dari isim fail baagin  Akar katanya bago-yabgi yang berarti: mencari, dan dapat pula berarti maksiat, melampaui batas, berpaling dari kebenaran, dan dzalim.Adapun bughat dalam pengertian syara’ adalah orang-orang yang menentang atau memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara sah. Tindakan yang dilakukan bughat bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang sah, membangkang perintah pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang dibebankan kepada mereka.  Seorang baru bisa dikategorikan sebagai bughat dan dikenai had bughat jika beberapa kriteria ini melekat pada diri mereka:
1.  Memiliki kekuatan, baik berupa pengikut maupun senjata. Dari kriteria ini bisa disimpulkan bahwa penentang imam yang tak memiliki kekuatan dan senjata tidak bisa dikategorikan sebagai bughat.
2.  Memiliki takwil (alasan) atas tindakan mereka keluar dari kepemimpinan imam    atau tindakan mereka menolak kewajiban.
3. Memiliki pengikut yang setia kepada mereka.munculnya  ultimatum  itu  mereka  meminta  waktu,  maka  harus  diteliti terlebih dahulu apakah waktu yang diminta tersebut akan digunakan untuk memikirkan  kembali  pendapat  mereka,  atau  sekedar  untuk  mengulurwaktu. Jika ada indikasi jelas bahwa mereka meminta penguluran waktu untuk  merenungkan  pendapat-pendapat  mereka,  maka  mereka  diberi kesempatan, akan tetapi sebaliknya, jika didapati indikasi bahwa mereka meminta  penguluran  waktu  hanya  untuk  mengulur-ulur  waktu  maka mereka tak diberi kesempatan untuk itu.
4. Jika mereka tetap tidak mau taat, maka tindakan terakhir adalah diperangi sampai mereka sadar dan taat kembali.
c.     Status Hukum Pembangkang
Kalangan bughat tidak dihukumi kafir. Allah sampaikan hal ini dalam firman-nya pada surat  al-Hujurat ayat 9:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِن وَرَآءِ ٱلۡحُجُرَٰتِ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ ٤
 Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.
              Pembangkang yang taubat, taubatnya diterima dan ia tidak boleh dibunuh. Oleh sebab itu, para bughat yang tertawan tidak boleh diperlakukan secara sadis, lebih-lebih dibunuh. Mereka cukup ditahan saja hingga sadar. Adapun  harta  mereka  yang  terampas  tidak  boleh  disamakan  dengan ghanimah. Karena setelah mereka sadar, harta tersebut kembali menjadi harta mereka. Bahkan jika didapati kalangan bughat yang terluka saat perang, mereka tidak boleh serta merta dibunuh. Terkait hal ini Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa kala terjadi perang Jamal, Ali menyuruh agar diserukan: “Yang telah mengundurkan diri jangan dikejar, yang luka-luka jangan segera dimatikan, yang tertangkap jangan dibunuh, dan barang siapa yang meletakkan senjatanya harus diamankan.









[1] Muhammad ibnu qosim, fathul qorib mujib ,( ttt: ttth), 68
[2] Abu Suja` Ahmad Bin Al-Husaini, Terjemah Matan Al Ghayyah Wattaqrib,(Surabaya: Al Miftah, 2011), 209

fiqih tentang jinayat

JINAYAT DAN HIKMAHNYA
Dalam ilmu Fikih persoalan-persoalan mengenai perbuatan kejahatan dan sanksi hukum yang dikenakan terhadap pelakunya dibicarakan dalam bab jarimah atau uqubah. Jarimah menjangkau dua kelompok pembahasan yaitu jinayat dan hudud. Jinayat yaitu pembahasan mengenai tindak kejahatan pembunuhan dan penganiayaan serta sanksi hukumnya seperti qishash, diyat dan kaffarah. Sedangkan hudud membahas tentang tindak kejahatan selain pembunuhan dan penganiayaan seperti berzina, qadzaf, mencuri, merampok dan lain-lain serta sangsi hukum yang dikenakan atas pelaku-pelaku kejahatan tersebut.
I. JINAYAT
1. Pembunuhan
a. Pengertian Pembunuhan
Dalam bahasa arab, pembunuhan disebut Al-qatl, yang berasal dari kata qatala artinya mematikan atau suatu tindakan menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melanggar hukum.  Sedangkan secara istilah pembunuh adalah pebuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang baik dengan sengaja atau pun tidak sengaja, baik dengan alat yang mematikan atau pun dengan alat yang tidak mematikan, artinya melenyapkan nyawa seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja, dengan menggunakan alat mematikan ataupun tidak mematikan.
Menurut wahbah juhaili pembunuhan merupakan perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan hiangnya nyawa, baik dilakukan sengaja maupun tidak sengaja.
b. Macam-macam Pembunuhan
Menurut kitab Mattan Al-Gayyah Wa Taqrib:
الْقَتْلُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ لَا رَابِعَ لَهَا عَمْدٌ مَحْضٌ وَهُوَ مَصْدَرُ عَمَدَ بِوَزْنِ ضَرَبَ وَمَعْنَاهُ الْقَصْدُ  خَطَأٌ مَحْضٌ وَعَمْدٌ خَطَأٌ
Pembunuhan ada tiga macam, tidak ada yang ke empat. pertama- pembunuhan ‘amdun mahdun (murni sengaja). Lafadz ‘amdun adalah bentuk masdar dari fi’il madli “’amida” satu wazan dengan lafadz “dlaraba”, dan maknanya adalah sengaja, kedua dan ketiga- khatha’ mahdlun (murni tidak sengaja), dan ‘amdun khatha’ (sengaja namun salah).[1]
Pembunuhan dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan seperti sengaja, dan Pembunuhan Tersalah
1.  Pembunuhan sengaja  yaitu pembunuhan yang telah direncanakan dengan menggunakan alat yang mematikan, baik yang melukai atau memberatkan (mutsaqal). Dikatakan pembunuhan sengaja apabila ada niat dari pelaku sebelumnya dengan menggunakan alat atau senjata yang  mematikan. Si pembunuh termasuk orang yang baligh dan yang dibunuh (korban) adalah orang yang baik.
2.    Pembunuhan seperti sengaja yaitu pembunuhan  seperti sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan seseorang tanpa niat membunuh dan menggunakan alat yang biasanya tidak mematikan, namun menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
3.   Pembunuhan tersalah yaitu pembunuhan yang terjadi karenasalah satu dari tiga kemungkinan. Pertama; perbuatan tanpa maksud melakukan kejahatan tetapi mengakibatkan kematian seseorang., kedua; perbuatan yang mempunyai niat membunuh, namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh, ketiga; perbuatan yang pelakunya tidak bermaksud jahat, tetapi akibat kelalaiannya dapat menyebabkan kematian seseorang.
c. Dasar Hukum Larangan Membunuh
Membunuh adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam, karena Islam menghormati dan melindungi hak hidup setiap manusia. Firman Allah SWT:
. وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ ٣٣
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (Qs. Al-isra`: 33)
Karena ada ketegasan mengenai larangan pembunuhan, maka jika ada dua pihak yang saling membunuh tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’, maka orang yang membunuh maupun yang terbunuh sama-sama akan masuk neraka.
d. Hukuman bagi Pelaku Pembunuhan
Pelaku  atau  orang  yang  melakukan  pembunuhan  setidaknya  telah melangggar tiga macam hak, yaitu; hak Allah, hak ahli waris dan hak orang yang terbunuh. Artinya, balasan di dunia diserahkan kepada ahli waris korban, apakah pembunuh akan di qishash atau dimaafkan. Jika pembunuh dimaafkan, maka wajib baginya membayar diyat kepada ahli waris korban. Sedangkan mengenai hak Allah, akan diberikan di akhirat nanti, apakah pembunuh  akan  dimaafkan  oleh  Allah  SWT.,  karena  telah  melaksanakan kaffarah atau akan disiksa di akhirat kelak.
Berikut keterangan singkat tentang hukuman bagi pembunuh sesuai dengan macamnya.
1.  Pembunuhan sengaja
Menurut kitab Mattan Al-Gayyah Wa Taqrib:

وَيَقْصِدَ الْجَانِيْ قَتْلَهُ أَيِ الشَّخْصِ بِذَلِكَ الشَّيئِ
وَحِيْنَئِذٍ فَيَجِبُ الْقَوَدُ أَيِ الْقِصَاصُ عَلَيْهِ أَيِ الشَّخْصِ الْجَانِيْ
Dan pelaku sengaja untuk membunuh korban dengan sesuatu tersebut. Dan ketika demikian, maka sang pelaku wajib di-qishash.[2]
Hukuman bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah qishash yaitu pelaku harus diberikan sanksi yang berat. Dalam hal ini hakim menjadi pelaksana qishash, keluarga korban tidak diperbolehkan main hakim sendiri Jika keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan, maka hukumannya adalah membayar diyat mughalladzah (denda berat) yang diambilkan dari harta pembunuh dan dibayarkan secara tunai kepada pihak keluarga. Selain itu pembunuh juga harus menunaikan kaffarah.
2.  Pembunuhan seperti sengaja
Menurut kitab Mattan Al-Gayyah Wa Taqrib:
فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ أَيِ الرَّامِيْ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ دِيَّةٌ مُخَفَّفَةٌ وَسَيَذْكُرُ الْمُصَنِّفُ بَيَانَ تَخْفِيْفِهَا عَلَى الْعَاقِلَةِ مُؤَجَّلَةٌ عَلَيْهِمْ فِيْ ثَلَاثِ سِنِيْن
Maka tidak ada kewajiban qishash bagi orang yang melempar, akan tetapi ia wajib membayar diyat mukhaffafah (yang diringankan) yang dibebankan kepada ahli waris ashabah si pelaku dengan cara ditempo selama tiga tahun. [3]
Pelaku pembunuhan seperti sengaja tidak di-qishash. Ia dihukum dengan membayar  diyat mughaladzah  (denda  berat)  yang  diambilkan  dari  harta keluarganya dan dapat dibayarkan secara bertahap selama tiga tahun kepada keluarga korban, setiap tahunnya sepertiga. Selain itu pembunuh juga harus melaksanakan kaffarah. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
 “Barang siapa membunuh dengan sengaja, ia diserahkan kepada keluarga terbunuh. Jika mereka (keluarga terbunuh) menghendaki, mereka dapat mengambil qishash.  Dan  jika  mereka  menghendaki  (tidak  mengambil  qishash)  mereka  dapat  mengambil diyat berupa 30 ekor hiqqah, 30 ekor jad’ah, dan 40 ekor khilfah” (H.R. Tirmidzi).
Hadis Rasulullah tersebut merupakan dalil diwajibkannya diyat mughaladzah bagi pelaku tindak pembunuhan sengaja (yang dimaafkan keluarga korban) dan pelaku tindak pembunuhan semi sengaja.
3. Pembunuhan tersalah
Menurut kitab Mattan Al-Gayyah Wa Taqrib:
فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ بَلْ تَجِبُ دِيَّةٌ مُغَلَّظَةٌ عَلَى الْعَاقِلَةِ مُؤَجَّلَةٌ فِيْ ثَلَاثِ سِنِيْنَ وَسَيَذْكُرُ
Maka tidak ada kewajiban had atas si pelaku, akan tetapi wajib membayar diyat mughalladhah(diberatkan) yang dibebankan kepada waris si pelaku dengan cara ditempo selama tiga tahun.[4]
Hukuman bagi pembunuhan tersalah adalah membayar diyat mukhaffafah (denda ringan) yang diambilkan dari harta keluarga pembunuh dan dapat dibayarkan secara bertahap selama tiga tahun kepada keluarga korban, setiap tahunnya sepertiga. Rasulullah SAW., bersabda:
 “Diyat khata’ itu terdiri dari 5 macam hewan. 20 ekor unta berumur empat tahun, 20 ekor unta berumur limat tahun, 20 ekor unta betina berumur 1 tahun, 20 ekor unta betina berumur dua tahun, dan 20 ekor unta jantan berumur dua tahun.”(H.R. Daruquthni)
Selain itu pembunuh juga harus melaksanakan kaffarat, sesuai dengan firman Allah SWT :
وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَ‍ٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ
Artinya: dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu). (Qs. An-Nisa`:92)
e. Pembunuhan secara Berkelompok
Apabila sekelompok orang secara bersama-sama membunuh seseorang, maka mereka harus dihukum qishash. Hal ini disandarkan pada pernyataan Umar bin Khattab terkait praktik pembunuhan secara berkelompok yang diriwayatkan Imam Bukhari berikut:
 “Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar ra telah menghukum bunuh lima atau enam orang yang telah membunuh seseorang laki-laki secara dzalim (dengan ditipu) di tempat sunyi. Kemudian ia berkata :Seandainya semua penduduk Sun’a secara bersama-sama membunuhnya niscaya akan aku bunuh semua.” (HR. al-Bukhari)

f. Hikmah Larangan Membunuh
Islam menerapkan hukuman bagi pelaku pembunuhan tiada lain untuk memelihara  kehormatan  dan  keselamatan  jiwa  manusia.  Pelaku  tindak pembunuhan diancam dengan hukuman yang setimpal sesuai perbuatannya. Di antara dalil yang menjelaskan tentang hukuman bagi pembunuh adalah:
•  Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nisa ayat 93:
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا ٩٣

Artinya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.(QS.An-nisa`: 93)
• Sabda Rasulullah SAW:
 “Pembunuhan  sengaja  (hukumannya)  adalah  qishash,  kecuali  jika  wali  korban memaafkan.”(H.R. Abu Dawud)
Penerapan hukuman yang berat bagi pembunuh dimaksudkan agar tak seorang pun melakukan tindakan kejahatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
II. PENGANIAYAAN

a.    Pengertian penganiayaan
Penganiayaan  adalah  perbuatan  pidana  (tindak kejahatan), yang berupa melukai, merusak atau menghilangkan fungsi anggota tubuh.
b.    Macam-macam penganiayaan
Penganiayaan dibagi menjadi dua macam yaitu penganiayaan berat dan penganiayaan ringan.
Pertama: Penganiayaan berat yaitu perbuatan melukai atau merusak bagianbadan  yang  menyebabkan  hilangnya manfaat  atau  fungsi  anggota  badan tersebut, seperti memukul tangan sampai patah, merusak mata sampai buta dan lain sebagainya
Kedua:   Penganiayaan ringan yaitu perbuatan melukai bagian badan yang tidak sampai merusak atau menghilangkan fungsinya melainkan hanya menimbulkan cacat ringan seperti melukai hingga menyebabkan luka ringan.
c.  Dasar Hukuman Tindak Penganiaayaan
Perbuatan menganiaya orang lain tanpa alasan yang dibenarkan dalam Islam dilarang. Larangan berbuat aniaya ini sama dengan larangan membunuh orang lain tanpa dasar. Allah berfirman dalam surat surat al-Maidah ayat 45
وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاص
Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. (QS.Al-Maidah: 45)
III. QISHASH
a.  Pengertian qishash
Qishash berasal dari kata yang artinya memotong atau berasal dari kata  yang artinya mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si pelaku sebagai pembalasan atas perbuatannya. Menurut syara’ qishash ialah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan fungsi anggota tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja.
       b.    Macam-macam qishash
Berdasarkan pengertian di atas maka qishash dibedakan menjadi dua yaitu:
                 1. Qishash pembunuhan (yang merupakan hukuman bagi pembunu
                 2. Qishash anggota badan (yang merupakan hukuman bagi pelaku tindak pidana melukai, merusak atau menghilangkan  fungsi anggota badan).
       c.    Hukum Qishash
Hukuman mengenai qishash ini, baik qishash pembunuhan maupun qishah anggota badan, dijelaskan dalam al -Qur’an surat Al Maidah: 45
وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاصٞۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٞ لَّهُۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥
Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
d.  Syarat-syarat Qishash
Menurut Kitab Mattan Al-Gayyah Wa Taqrib :
Hukuman  qishash  wajib  dilakukan  apabila  memenuhi  syarat-syarat
sebagaimana berikut:
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَحِ فَصْلُ وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الْقِصَاصِ أَرْبَعٌ الْأَوَّلُ أَنْ يَكُوْنَ الْقَاتِلُ بَالِغًا فَلَا قِصَاصَ عَلَى صَبِيٍّ وَلَوْ قَالَ أَنَا الْآنَ صَبِيٌّ صُدِّقَ بِلَا يَمِيْنٍ الثَّانِيْ أَنْ يَكُوْنَ الْقَاتِلُ عَاقِلًا وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الْقِصَاصِ فِيْ الْقَتْلِ أَرْبَعَةٌ فَيُمْتَنَعُ الْقِصَاصُ مِنْ مَجْنُوْنٍ إِلَّا إِنْ تَقَطَّعَ جُنُوْنُهُ فَيُقْتَصُّ مِنْهُ زَمَنَ إِفَاقَتِهِ وَيَجِبُ الْقِصَاصُ عَلَى مَنْ زَالَ عَقْلُهُ بِشُرْبِ مُسْكِرٍ مُتَعَدٍّ فِيْ شُرْبِهِ فَخَرَجَ مَنْ لَمْ يَتَعَدَّ بِأَنْ شَرِبَ شَيْئًا ظَنَّهُ غَيْرَ مُسْكِرٍ فَزَالَ عَقْلُهُ فَلَا قِصَاصَ عَلَيْهِ وَ الثَّالِثُ أَنْ لَا يَكُوْنَ الْقَاتِلُ وَالِدًا لِلْمَقْتُوْلِ فَلَا قِصَاصَ عَلَى وَالِدٍ بِقَتْلِ وَلَدِهِ وَإِنْ سَفُلَ الْوَلَد قَالَ ابْنُ كَجٍّ وَلَوْ حَكَمَ حَاكِمٌ بِقَتْلِ وَالِدٍ بِوَلَدِهِ نُقِضَ حُكْمُهُ. وَ الرَّابِعُ أَنْ لَا يَكُوْنَ الْمَقْتُوْلُ أَنْقَصَ مِنَ الْقَاتِلِ بِكُفْرٍ أَورِقٍّ فَلَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ حَرْبِيًّا كَانَ أَوْ ذِمِّيًا أَوْ مُعَاهَدًا
Syarat kewajiban qishash dalam kasus pembunuhan ada empat.
Di dalam sebagian redaksi dengan menggunakan bahasa, “(fasal) syarat-syarat wajibnya qishash ada empat.”
1. Pertama, si pembunuh sudah baligh.
 Sehingga tidak ada kewajiban qishash atas anak kecil. Seandainya si pembunuh berkata, “saya saat ini masih bocah (belum baligh)”, maka ia dibenarkan tanpa harus bersumpah.
2. Kedua, si pembunuh adalah orang yang berakal.
Sehingga qishash tidak boleh dilakukan pada orang gila kecuali gilanya terputus-putus, maka dia diqishash pada waktu sembuh.
Qishash wajib dilaksanakan pada orang yang hilang akalny sebab meminum minumam memabukkan akibat kecorobohan saat meminumnya.Maka mengecualikan orang yang tidak ceroboh, seperti ia meminum sesuatu yang ia kira tidak memabukkan, namun ternyata kemudian akalnya hilang, maka tidak ada kewajibanqishash atas dirinya.
3. Ketiga, si pembunuh bukan orang tua korban yang dibunuh.
Maka tidak ada kewajiban qishash atas orang tua yang membunuh anaknya sendiri, walaupun anak hingga ke bawah (cucu)
Ibn Kajj berkata, “seandainya seorang hakim memutuskan menghukum mati orang tua yang telah membunuh anaknya, maka putusan hukum hakim tersebut batal.”
4. Ke empat, korban yang terbunuh statusnya tidak sebawah status si pembunuh, sebab  kafir atau status budak.[5]
    Sehingga orang muslim tidak boleh dihukum mati sebab membunuh orang kafir harbi, dzimmi atau kafir mu’ahhad.
       e.    Hikmah Qishash
Hikmah yang dapat dipetik bahwa Islam menerapkan hukuman yang sanga menjaga serta menjaga kehormatan dan keselamatan jiwa manusia. Pelaku perbuatan pembunuhan diancam  dengan qishash baik yang terkait pada al-jinayat  ‘alan  nafsi  (tindak pidan pembunuhan) ataupun al-jinayah  ‘ala  ma  dunan  nafsi (tindak pidana yang berupa merusak anggota badan ataupun menghilangkan  fungsinya)  akan  menimbulkan  banyak  efek  positif.  Yang terpenting diantaranya adalah:

 1. Dapat memberikan pelajaran bagi kita bahwa keadilan harus ditegakkan. Betapa tinggi nilai jiwa dan badan manusia, jiwa diganti dengan jiwa, anggota badan juga diganti dengan anggota badan.

 2. Dapat  memelihara  keamanan  dan  ketertiban.  Karena  dengan  adanya qishash orang akan berβikir lebih jauh jika akan melakukan tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan. Di sinilah qishash memiliki peran penting  dalam  menjauhkan  manusia  dari  nafsu  membunuh  ataupun menganiaya orang lain, hingga akhirnya manusia akan merasakan atmosfer kehidupan yang penuh dengan keamanan, kedamaian dan ketertiban.
3. Dapat  mencegah  pertentangan  dan  permusuhan  yang  mengundang terjadinya pertumpahan darah. Dalam konteks ini qishash memiliki andil besar  membantu  program  negara  dalam  usaha  memberantas  berbagai macam praktik kejahatan, sehingga ketentraman dan keamanan masyarakat terjamin. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:
وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩
Artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa
IV.   DIYAT
       a.    Pengertian Diyat
Diyat secara bahasa diyat yaitu denda atau ganti rugi pembunuhan. Secara istilah diyat merupakan sejumlah harta yang wajib diberikan karena tindakan pidana (jinayat) kepada korban kejahatan atau walinya atau kepada pihak terbunuh  atau  teraniaya.  Maksud  disyariatkannya  diyat  adalah  mencegah praktik  pembunuhan  atau  penganiayaan  terhadap  seseorang  yang  sudah semestinya mendapatkan jaminan perlindungan jiwa.
       b.    Sebab-sebab Ditetapkannya Diyat
                    Diyat wajib dibayarkan karena beberapa sebab berikut:
1. Pembunuhan sengaja yang pelakunya dimaafkan pihak terbunuh (keluarga korban). Dalam hal ini pembunuh tidak diqishash, akan tetapi wajib baginya menyerahkan diyat kepada keluarga korban.
2.  Pembunuhan seperti sengaja.
3.  Pembunuhan tersalah
4. Pembunuh lari, akan tetapi identitasnya sudah diketahui secara jelas. Dalam konteks semisal ini, diyat dibebankan kepada keluarga pembunuh.
5.  Qishash sulit dilaksanakan. Ini terjadi pada jinayat ‘ala ma dunan nafsi (tindak pidana yang terkait dengan melukai anggota badan atau menghilangkan fungsinya)
       c.     Macam-macam Diyat
  1.  Diyat Mughalladzah atau denda berat
  Diyat mughaladzah adalah membayarkan 100 ekor unta yang terdiri
·         30 hiqqah ( unta betina berumur 3-4 tahun )
·         30 jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun )
·         40 unta khilfah ( unta yang sedang bunting )
Yang wajib membayarkan diyat mughaladzah adalah:
a.  Pelaku  tindak  pidana  pembunuhan  sengaja  yang  dimaafkan  olehkeluarga korban. Dalam hal ini diyat harus diambilkan dari hartanya dan dibayarkan secara kontan sebagai pengganti qishash. Rasulullah Saw. bersabda: 
                                “Barang  siapa  yang  membunuh  dengan  sengaja,  (hukumannya)  harus  menyerahkan   diri   kepada   keluarga   korban,   jika   mereka   menghendaki   dapat   mengambil  qishash,  dan  jika  mereka  tidak  menghendaki  (mengambil  qishash), mereka dapat mengambil diyat berupa 30 hiqqah (unta betina berumur 3-4 tahun), 30 jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun ) dan unta khilfah (unta yang sedang buntin)”(HR. at-Tirmidzi)
b. Pelaku pembunuhan seperti sengaja. Diyat mughaladzah pada kasus pembunuhan seperti sengaja ini dibebankan kepada keluarga pembunuh dan diberikan kepada keluarga korban dengan cara diangsur selama tiga tahun, setiap tahunnya dibayar sepertiga.
c.  Pelaku Pembunuhan di Tanah Haram (Makkah), atau pada asyhurul hurum (Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah), atau pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap mahramnya.  20 unta binta makhadh ( unta betina lebih dari 1 tahun),
        2.  Diyat Mukhaffafah atau denda ringan
          Diyat mukhaffafah yang dibayarkan kepada keluarga korban ini beupa 100 ekor unta, terdiri dari
•  20 unta hiqqah (unta betina berumur 3-4 tahun)
•  20 unta jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun)
•  20 unta binta labun (unta betina umur lebih dari 2 tahun), dan 20 unta ibna labun (unta jantan berumur lebih dari 2 tahun).Yang wajib membayarkan diyat mukhaffafah adalah:
a.  Pelaku pembunuhan tersalah, dengan pembayaran diangsur selama 3  tahun, setiap tahunnya sepertiga dari jumlah diyat. Rasulullah Saw. Bersabda Artinya:  “  Diyat  khatha’  diperincikan  lima  macam,  yaitu  20  unta  hiqqah,  20  unta  jadza’ah,  20  unta  binta  makhath  (unta  betina  lebih  dari  1  tahun),  20  unta  binta  labun  (unta  betina  umur  lebih  dari  2  tahun),  dan  20  unta  ibnu  labun  (unta  jantan  berumur lebih dari 2 tahun) (HR. ad-Daruquthni)
b.   Pelaku  tindak  pidana  yang  berupa  menciderai  anggota  tubuh  atau  menghilangkan fungsinya yang dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Jika diyat tidak bisa dibayarkan dengan unta, maka diyat wajib dibayarkan dengan sesuatu yang seharga dengan unta.
       d.    Diyat karena kejahatan melukai atau memotong anggota badan
Aturan diyat untuk kejahatan melukai atau memotong anggota badan tidak seperti aturan diyat pembunuhan. Berikut penjelasan ringkasnya:
1.  Wajib membayar satu diyat penuh berupa 100 ekor unta, apabila seseorang menghilangkan anggota badan tunggal (lidah, hidung, kemaluan laki-laki) atau sepasang anggota badan (sepasang mata, sepasang telinga, sepasang tangan dan lain-lain). Dalam hadis yang diriwayatkan Jabir, Rasulullah Saw. bersabda:
         “Pada  (memotong)  kedua  kaki  satu  diyat  penuh  (HR.  Abu  Dawud )
       Riwayat  tersebut  menegaskan  bahwa  pelaku  tindak  pidana pemotongan anggota tubuh tunggal ataupun berpasangan wajib membayar diyat penuh setelah korban atau keluarga korban memaafkannya. Jika korban ataupun keluarga korban tak memaafkannya, maka ia diqishash.
2.   Wajib  membayar  setengah  diyat  berupa  50  ekor  unta,  jika  seseorang memotong salah satu anggota badan yang berpasangan semisal satu tangan, satu kaki, satu mata, satu telinga dan lain sebagainya. Terkait dengan hal ini Rasulullah bersabda:
       “Dalam  merusak  satu  telinga  wajib  membayar  50  ekor  unta”  (HR.  Al-Baihaqi)
3.  Wajib membayar sepertiga diyat apabila melukai anggota badan sampai organ dalam, semisal melukai kepala sampai otak.
4.  Wajib membayar 15 ekor unta jika seseorang melukai orang lain hingga menyebabkan kulit yang ada di atas tulang terkelupas.
5.  Wajib membayar 10 ekor unta bagi  seseorang yang melukai orang lain hingga mengakibatkan jari-jari tangannya atau kakinya putus (setiap jari 10 ekor unta).
6.  Wajib membayar 5 ekor unta bagi seseorang yang melukai orang lain hingga menyebabkan giginya patah atau lepas (setiap gigi 5 ekor unta).
        Adapun teknis pembayaran diyat, jika diyat tidak bisa dibayarkan dengan unta, maka ia bisa digantikan dengan uang seharga unta tersebut. Ketentuan-ketentuan yang belum ada aturan hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim.
       e. Hikmah Diyat
               Hikmah terbesar ditetapkannya diyat adalah mencegah pertumpahan darah serta sebagai obat hati dari rasa dendam keluarga korban terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan. Kita dapat merasakan hikmah diwajibkannya diyat saat kita menelaah secara seksama bahwa keluarga korban mempunyai dua pilihan. Pertama; meminta  qishash,  kedua;  memaafkan  pelaku  tindak  pembunuhan  atau penganiayaan dengan kompensasi diyat. Dan saat pilihan kedua dipilih keluarga korban, maka secara tidak langsung keluarga korban telah mengikhlaskan  apa yang telah terjadi, hati mereka menjadi bersih dari amarah ataupun rasa dendam yang akan dilampiaskan kepada pelaku tindak pembunuhan ataupun penganiayaan.
               Walaupun demikian, secara manusiawi rasa sakit hati ataupun dendam tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan diterimanya diyat, tetapi karena keluarga korban telah berniat dari awal “untuk memaafkan pelaku tindak pidana” maka dorongan batin itu lambat laun akan menetralisir suasana hingga akhirnya keluarga korban benar-benar bisa memaafkan pelaku tindak pidana setelah mereka menerima diyat.
               Sampai titik ini, semakin bisa dirasakan bahwa diyat merupakan media syar’i efektif pencegah pertumpahan darah dan penghilang rasa sakit hati atau dendam keluarga korban terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan.
V.    KAFFARAH
a.    Pengertian kaffarah
Kaffarah yaitu denda yang harus dibayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji. Kaffarah merupakan asal kata dari kata kufr yang artinya tertutup. Maksudnya, tertutupnya hati seseorang hingga ia berani melakukan pelanggaran terhadap aturan syar’i. Sedangkan secara istilah, kaffarah adalah denda yang wajib dibayarkan oleh seseorang yang telah melanggar larangan Allah tertentu. Kaffarah merupakan tanda taubat kepada Allah dan penebus dosa.
b.    Macam-macam kaffarah
Berikut penjelasan singkat macam-macam kaffarah:
1.   Kaffarah Pembunuhan
                           Agama  Islam  sangat  melindungi  jiwa.  Darah  tidak  boleh  ditumpah kan tanpa sebab-sebab yang dilegalkan oleh syariat. Karenanya, seorang yang membunuh orang lain selain dihadapkan pada salah satu dari dua pilihanyaitu; diqishash atau membayar diyat, ia juga diwajibkan membayar kaffarah.  Kaffarah bagi pembunuh adalah memerdekakan budak muslim. Jika ia tak mampu melakukannya maka pilihan selanjutnya adalah berpuasa 2 bulan berturut-turut. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 92:
وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَ‍ٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ وَإِن كَانَ مِن قَوۡمِۢ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُم مِّيثَٰقٞ فَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ وَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ تَوۡبَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ ٩٢
Artinya: dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah.
2.  Kaffarah Dzihar
               Dzihar  adalah  perkataan  seorang  suami  kepada  istrinya,  "kau  bagiku seperti punggung ibuku". Pada masa jahiliyyah dzihar dianggap sebagai thalaq. Akan tetapi setelah syariah islamiyyah turun, ketetapan hukum dzihar yang berlaku di kalangan masyarakat jahiliyyah dibatalkan. Syariat Islam menegaskan bahwa dzihar bukanlah thalaq, dan pelaku dzihar wajib menunaikan  kaffarah  dzihar  sebelum  ia  melakukan  hubungan  biologis dengan istrinya. Kaffarah seorang suami yang mendzihar istrinya adalah memerdekakan hamba sahaya. Jika ia tak mampu melakukannya, maka ia beralih pada pilihan kedua yaitu berpuasa bulan berturut-turut. Dan jika ia masih juga tak mampu melakukannya, maka ia mengambil pilihan terakhir yaitu memberikan makan 60 fakir miskin.
3.  Kaffarah melakukan hubungan biologis di siang hari pada bulan
               RamadhanKaffarah  yang  ditetapkan  untuk  pasangan  suami  istri  yang  melakukan hubungan biologis pada siang hari di bulan Ramadhan sama dengan kaffarahdzihar ditambah qadha sebanyak jumlah hari mereka melakukan hubungan suami istri (intim) di siang hari bulan Ramadhan.
4.  Kaffarah karena melanggar sumpah
                Kaffarah  bagi  seorang  yang  bersumpah  atas  nama  Allah  kemudian  ia melanggarnya  adalah  memberi  makan  10  fakir  miskin,  atau  memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak. Jika ketiga hal tersebut tak mampu ia lakukan, maka diwajibkan baginya puasa 3 hari berturut-turut. Dalil naqli terkait hal ini adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 89.
5.  Kaffarah Ila’
                Kaffarah  Ila’  adalah  sumpah  suami  untuk  tidak  melakukan  hubungan biologis dengan istrinya dalam masa tertentu. Semisal perkataan suami kepada istrinya, "demi Allah aku tidak akan menggaulimu". Konsekuensi yang muncul karena ila’ adalah suami membayar kaffarah ila’ yang jenisnya sama dengan kaffarah yamı̂n (kaffarah melanggar sumpah).
6.  Kaffarah karena membunuh binantang buruan pada saat berihram.  
               Kaffarah jenis ini adalah mengganti binatang ternak yang seimbang, atau memberi makan orang miskin, atau berpuasa. Aturan kaffarah ini Allah jelaskan dalam surat al-Maidah ayat 95.
        c.   Hikmah Kaffarah
Secara umum, hikmah kaffarah sebagai berikut:
1.  Manusia benar-benar menyesali pebuatan  yang keliru, telah berbuat  dosa kepada Allah dan merugikan sesama manusia
2.  Menuntun manusia agar segera bertaubat kepada Allah atas tindak maksiat yang ia lakukan.
3.  Menstabilakan mental manusia, hingga ia merasakan ketenangan diri karena tuntunan agama (membayar kaffarah) telah ia tunaikan.




[1] Abu Suja` Ahmad Bin Al-Husaini, Terjemah Matan Al Ghayyah Wattaqrib,(Surabaya: Al Miftah, 2011), 200
[2] Abu Suja` Ahmad Bin Al-Husaini, Terjemah Matan Al Ghayyah Wattaqrib,(Surabaya: Al Miftah, 2011), 200
[3] Abu Suja` Ahmad Bin Al-Husaini, Terjemah Matan Al Ghayyah Wattaqrib,200
[4] Abu Suja` Ahmad Bin Al-Husaini, Terjemah Matan Al Ghayyah Wattaqrib, 200
[5] Abu Suja` Ahmad Bin Al-Husaini, Terjemah Matan Al Ghayyah Wattaqrib,(Surabaya: Al Miftah, 2011), 201