Jumat, 20 April 2018

Fiqih tentang hudud


HUDUD DAN HIKMAHNYA

Menurut kitab :
جَمْعُ حَدٍّ وَهُوَ لُغَةً الْمَنْعُ وَسُمِّيَتِ الْحُدُوْدُ بِذَلِكَ لِمَنْعِهَا مِنِ ارْتِكَابِ الْفَوَاحِشِ
                     Lafadz al hudud adalah bentuk jama’ dari lafadz “had”. Had secara bahasa bermakna mencegah.Disebut dengan nama Had, karena bisa mencegah dari melakukan perbuatan-perbuatan keji.              [1]
                     Berbagai hukuman perbuatan maksiat  dinamakan had  karena  umumnya  hukuman-hukuman  tersebut  dapat mencegah pelaku maksiat untuk kembali kepada kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Hukuman had merupakan media penjera pelaku maksiat hingga ia tak mau mengulangi kemaksiatannya.Sedangkan menurut istilah syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang telah ditetapkan Allah sebagai sanksi hukum terhadap pelaku tindak kejahatan selain pembunuhan dan penganiayaan. Tujuan inti dari hudud yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia. Dalam istilah Fikih, berbagai tindak kejahatan yang diancam dengan hukuman had diistilahkan dengan jaraimul hudud. Macam  jaraimul  hudud yang senantiasa dikupas dalam berbagai referensi Fikih adalah;
1.   Zina
2.  Qadhaf (menuduh zina)
3.   Mencuri
4.   Meminum khamr
5.   Murtad
6.   Bughat (Pemberontakan)
7.   Hirabah (mengambil harta orang lain dengan kekerasan / ancaman senjata, dan terkadang diikuti dengan aksi pembunuhan).
                     Hukuman dalam bentuk had berbeda dengan hukuman dalam bentuk qishash, walaupun sebagian ada kesamaan jenisnya. Karena  had  merupakan hak Allah SWT., sedangkan qishash adalah hak manusia sebagai hamba Allah SWT. Had tidak bisa gugur karena dimaafkan oleh pihak yang dirugikan. Sedangkan qishash dapat gugur jika pihak yang dirugikan memaaβkan.
I.     ZINA
a.    Pengertian Zina
                        Zina adalah perbuatan dengan cara memasukkan alat kelamin Laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan yang mendatangkan syahwat, dalam  persetubuhan yang haram, yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan yang sah.Maksud dari perempuan yang mendatangkan syahwat adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan baik yang dewasa (baligh) ataupun yang masih kecil. Dari pengertian ini bisa disimpulkan bahwa persetubuhan dengan hewan ataupun mayat tidak bisa dikategorikan zina. Pelaku tindak keji tersebut tidak terkena had.
                        Walaupun demikian, hakim atau penguasa berhak men-ta’zir (menghukumnya dengan pertimbangan maslahat)  hingga ia jera dan menyadari bahwa perbuatan menyetubuhi hewan ataupun mayat adalah tindakan haram yang harus dihindari.Adapun maksud dari persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri (hubungan seksual di luar pernikahan atau perkawinan yang sah). Sedangkan maksud dari “bukan karena syubhat” adalah perzinaan yang terjadi bukan karena seorang laki-laki mengira bahwa wanita yang ia setubuhi adalah pasangan yang sah untuknya, seperti istrinya. Jika seorang laki-laki menyetubuhi seorang wanita yang ia kira adalah istrinya, maka had tidak dikenakan untuknya.
b.   Hukum Zina
Para ulama sepakat bahwa zina hukumnya haram dan termasuk salah satu bentuk dosa besar. Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا ٣٢
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (Qs. Al-isra`: 32)
Di antara hadis tentang keharaman zina yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud berikut:
Saya  (Abdullah  Ibnu  Mas’ud)  bertanya:  “Ya  Rasulullah  dosa  apakah  yang  paling  besar?”  Nabi  menjawab:  “Engkau  menyediakan  sekutu  bagi  Allah  Swt.,  padahal  dia menciptakan  kamu.”  Saya  bertanya  lagi:  ”Kemudian  (dosa)  apalagi?”  Nabi  menjawab:  ”Engkau  membunuh  anakmu  karena  khawatir  jatuh  miskin”  Saya  bertanya lagi: “Kemudian apalagi?” Beliau menjawab: “Engkau berzina dengan istri etanggamu.” (HR.Bukhari dan Muslim)
c.     Dasar Penetapan Hukum Zina
Penerapan had  bagi  yang  melakukan  perbuatan  zina  (laki-laki  dan perempuan)  dapat  dilaksanakan  jika  tertuduh  diyakini  benar-benar melakukan perzinaan. Untuk itu diperlukan penetapan secara syara’. Namun Rasulullah sangat hati-hati dalam melaksanakan had zina ini. Beliau tidak akan melaksanakan had zina sebelum yakin bahwa tertuduh benar-benar berbuat zina.
Berikut  dasar-dasar  yang  dapat  digunakan  untuk  menetapkan  bahwa seseorang telah benar-benar berbuat zina:
1.  Adanya empat orang saksi laki-laki yang adil. Kesaksian mereka harus sama dalam hal tempat, waktu, pelaku dan cara melakukannya. Firman Allah SWT:
وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡ
Artinya : Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yangmenyaksikannya). (QS. An-nisa:15)
2. Pengakuan pelaku zina, sebagaimana dijelaskan dalam hadis  Jabir bin Abdillah r.a. berikut ini:
     “Dari  Jabir  bin  Abdullah  al-Anshari  ra.  Bahwa  seorang  laki-laki  dari  Bani  Aslam  datang  kepada  Rasulullah  dan  menceritakan  bahwa  ia  telah  berzina.  Pengakuan  ini  diucapkan  empat  kali.  Kemudian  Rasul  menyuruh  supaya  orang  tersebut dirajam dan orang tersebut adalah muhshan.” (HR. al-Bukhari)
Sebagian ulama berpendapat bahwa kehamilan perempuan tanpa suami dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina. Akan tetapi Jumhu Ulama’ berpendapat  sebaliknya.  Kehamilan  saja  tanpa  pengakuan  atau  kesaksian empat orang yang adil tidak dapat dijadikan dasar penetapan zina.Had zina dapat dijatuhkan terhadap pelakunya, jika telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.  Pelaku zina sudah baligh dan berakal
2.  Perbuatan zina dilakukan tanpa paksaan
3. Pelaku zina mengetahui bahwa konsekuensi dari perbuatan zina adalah had
4. Telah  diyakini  secara  syara’  bahwa  pelaku  tindak  zina  benar-benar melakukan perbuatan keji tersebut.
d.    Macam-macam Zina dan Had-nya
Dalam  kitab Mattan Al-Gayyah Wa Taqrib:
وَالزِّنَى عَلَى ضَرْبَيْنِ مُحْصَنٍ وَغَيْرِ مُحْصَنٍ

 Zina ada dua macam, zina muhshan dan gairu muhshan.[2]
1.  Zina Mukhshan
Perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang yang sudah menikah. Ungkapan “seorang yang sudah menikah” mencakup suami, istri, janda, atau duda. Had (hukuman) yang diberlakukan kepada pezina mukhshan adalah rajam.  Teknis penerapan hukuman rajam yaitu, pelaku zina mukhshan dilempari batu yang berukuran sedang hingga benar-benar mati. Batu yang digunakan tidak  boleh  terlalu  kecil  sehingga  memperlama  proses  kematian  dan hukuman.  Sebagaimana  juga  tidak  dibolehkan  merajam  dengan  batu besar  hingga  menyebabkan  kematian  seketika  yang  dengan  itu  tujuan “memberikan pelajaran” kepada pezina mukhshon tidak tercapai.
2.  Zina Ghairu Mukhshan
Zina yang dilakukan oleh seseorang yang belum pernah menikah. Para ahli Fikih sepakat bahwa had (hukuman) bagi pezina ghairu  mukhshan  baik  laki-laki  ataupun  perempuan  adalah  cambukan sebanyak 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Seperti sabda nabi dibawah ini:
“  Dari  Zaid  bin  Khalid  Al-Juhaini,  dia  berkata  :  “Saya  mendengar  Nabi  menyuruh  agar  orang  yang  berzina  dan  ia  bukan  muhshan,  didera  100  kali  dan  diasingkan selama satu tahun.”(HR.al-Bukhari)
e.    Hikmah Diharamkannya Zina
Zina merupakan sumber berbagai tindak kemaksiatan. Di antara hikmah terpenting diharamkannya zina adalah:
1.  Memelihara  dan  menjaga  keturunan  dengan  baik.  Karena  anak  hasil perzinaan pada umumnya kurang terpelihara dan terjaga.
2.  Menjaga harga diri dan kehormatan manusia.
3.  Menjaga ketertiban dan keteraturan rumah tangga.
4.  Memunculkan  rasa  kasih  sayang  terhadap  anak  yang  dilahirkan  dari pernikahan sah.
II.   QADZAF
a.    Pengertian Qadzaf
Secara bahasa qadhaf yaitu melempar dengan batu atau yang semisalnya (ar-ramyu  bil  hijarah  wa  ghairiha). Adapun menurut istilah, qadhaf adalah melempar tuduhan zina kepada seorang yang dikenal baik secara terang-terangan.
b.    Hukum Qadzaf
 Di antara dalil-dalil yang menegaskan keharaman qadzaf adalah:
•  Firman Allah SWT dalam an-Nur ayat 23:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡغَٰفِلَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ لُعِنُواْ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ٢٣
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar (QS. An-nur:23)
• Sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.:
”Dari  Abu  Hurairah  ra.  Nabi  bersabda:  “Jauhilah  olehmu  tujuh  (perkara)  yang  membinasakan”,  Nabi  ditanya:  “Apa  saja  perkara  itu,  ya  Rasulullah?”  Rasul  menjawab:  “Menyekutukan  Allah,  sihir,  membunuh  jiwa  yang  diharamkan  Allah  kecuali dengan jalan yang sah menurut syara’, memakan harta anak yatim, berpaling dari  medan  perang,  dan  menuduh  zina  wanita  baik-baik  yang  tak  pernah  ingat  berbuat keji, lagi beriman.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
c.     Had Qadzaf
Had (hukuman) bagi pelaku qadzaf adalah cambuk sebanyak 80 kali bagi yang merdeka,  dan cambuk 40 kali bagi budak, karena hukuman budak setengah hukuman orang yang merdeka.Allah SWT berfirman dalam surat an-Nur ayat 4:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.( QS. An-nur:4)
d.    Syarat-syarat berlakunya Had Qadzaf
Ada  beberapa  syarat  mengenai had   qadzaf   yang  dijatuhkan  terhadap penuduh zina sebagai berikut:
1. Tertuduh berzina adalah mukhshan. Pengertian mukhshan dalam qadzaf berbeda dengan mukhshan dalam masalah zina. Dalam qadzaf, mukhshan adalah orang baik yang benar-benar tidak berzina. Adapun mukhshan dalam pembahasan zina adalah seorang yang sudah pernah menikah.
2.  Penuduh baligh dan berakal
3. Tuduhan berzina benar-benar sesuai aturan syara’, di mana saksi dalam kasus qadzaf adalah dua orang laki-laki adil yang menyatakan bahwa penuduh telah menuduh orang baik-baik berbuat zina atau pengakuan dari penuduh sendiri bahwa dirinya telah menuduh orang baik-baik berbuat zina.
f.     Gugurnya Had Qadzaf
Seorang yang menuduh orang baik-baik berzina bisa terlepas darihad qadzaf jika salah satu dari tiga hal di bawah ini terjadi:
1.  mengemukakan empat  orang  saksi  laki-laki  adil  bahwa yang  tertuduh benar-benar telah berzina.
2.  dimaafkan oleh yang tertuduh
3. orang yang menuduh istrinya berzina terlepas dari hukuman dengan jalan li`an.  Li’an (sumpah seorang suami atas nama Allah SWT. sebanyak 4 kali).
g.    Hikmah Dilarangnya Qadzaf
Timbulnya efek negatif  yang dimunculkan qadzaf adalah tercemarnyanama baik tertuduh, serta jatuhnya harga diri dan kehormatannya di mata masyarakat. Karenanya, Islam mengharamkan qadzaf dan menetapkan had bagi pelakunya. Diantara hikmah terpenting penetapan had qadzaf adalah:
1.  Menjaga kehormatan diri seseorang di mata masyarakat
2. Agar seseorang tidak begitu mudah melakukan kebohongan dengan cara menuduh orang lain berbuat zina
3. Agar si penuduh merasa jera dan sadar dari perbuatannya yang tidak terpuji
4.  Menjaga keharmonisan pergaulan antar sesama anggota masyarakat
5.  Mewujudkan keadilan dikalangan masyarakat berdasarkan hukum yang
Benar.
III.  MEMINUM MINUMAN  KERAS
a.    Pengertian Khamr
Secara definisi bahasa khamr mempunyai arti penutup akal. Sedangkan menurut istilah syar’i khamr adalah segala jenis minuman atau selainnya yang memabukkan dan menghilangkan fungsi akal. Berpijak dari deβinisi syar’i ini, cakupan khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan dan membuat manusia tidak sadar, semisal ganja, heroin, obat bius dan lain sebagainya bisa disebut khamr.Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiap-tiap yang memabukkan disebut khamr, dan tiap-tiap khamr hukumnya haram.”(HR. Muslim)
b.    Hukum Minuman Keras
Sudah menjadi ijma’ ulama bahwa hukum minuman keras (khamr) haram. Mengkonsumsi khamr merupakan dosa besar. Diantara dalil yang menegaskan keharaman minuman keras adalah:
•  Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠
  Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
• Sabda Rasulullah Saw.
“Dari Abdullah bin Umar, Rasullah bersabda: “Barang siapa meminum khamr di  dunia  dan  ia  tidak  bertaubat  maka  (Allah) mengharamkannya  di  akhirat”(HR.  Muslim)
c.     Had Minum Khamr
Sebagaimana ulama telah sepakat akan haramnya khamr, mereka juga sepakat bahwa orang yang meminumnya wajib dikenai hukuman (had), baik ia mengkonsumsi sedikit atau banyak. Landasan syar’i terkait hal ini adalah:
•  Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Anas bin Malik ra, dihadapkan kepada Nabi saw seorang yang telah minum  khamr,  kemudian  beliau  menjilidnya  dengan  dua  tangkai pelepah  kurma  kira-kira 40 kali.” (Muttafaq Alaih)
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah pukulan bagi peminum khamr. Berikut ringkasan perbedaan pendapat mereka:
1.  Jumhrul  ulama 
(mayoritas ulama) diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jumlah pukulan dalam had minuman keras 80 kali.
Alasan mereka, bahwa para sahabat di zaman Umar bin Khatthab pernah bermusyawarah  untuk  menetapkan  seringan-ringannya  hukuman  had. Kemudian mereka bersepakat bahwa jumlah minimal had adalah pukulan sebanyak 80 kali. Dari kesepakatan inilah, selanjutnya Umar menetapkan bahwa had bagi peminum khamr adalah cambuk sebanyak 80 kali.
2. Imam syafi’i, Abu Daud dan Ulama’ Dzahiriyyah
berpendapat bahwa jumlah had minum khamr  adalah 40 kali cambuk, tetapi imam/hakim boleh menambahkannya sampai 80 kali. Tambahan 40 kali merupakan ta’zir yang merupakan hak imam/hakim.
Alat pukul yang digunakan untuk menghukum peminum khamar bisa berupa sepotong kayu, sandal, sepatu, tongkat, tangan, atau alat pukul lainnya.
d.    Hikmah Diharamkannya Minuman Khamr
Diantara hikmah terpenting diharamkannya minum khamr adalah:
1.   Masyarakat terhindar dari kejahatan seseorang yang diakibatkan pengaruh minum khamr. Peminum khamr yang sudah sampai tingkat “pecandu” tidak akan mampu menghindar dari tindak kejahatan/kemaksiatan. Karena khamr merupakan induk segala macam bentuk kejahatan. Maka, ketika khmar diharamkan dan kebiasaan meminumnya bisa dihilangkan, secara otomatis berbagai tindak kejahatan akan sirna, atau paling minimal menurun drastis.
2.    Menjaga  kesehatan  jasmani  dan  rohani  dari  berbagai  penyakit  yang disebabkan  oleh  pengaruh  minum  khamr  seperti  busung  lapar,  hilang ingatan, atau berbagai penyakit berbahaya lainnya.
3.  Masyarakat  terhindar  dari  siksa  kebencian  dan  permusuhan  yang diakibatkan oleh pengaruh khamr. Sebagaimana maklum adanya, khamr selain mengakibatkan berbagai macam penyakit juga menjadikan mental pecandunya tidak stabil. Pecandu khamr akan mudah tersinggung dan salah paham hingga dirinya akan selalu diselimuti kebencian dan permusuhan.
4.    Menjaga hati agar tetap bersih, jernih, dan dekat kepada Allah ta’ala. Karena khamr akan mengganggu kestabilan jasmani dan rohani. Hati pecandu khamr hari demi hari akan semakin jauh dari Allah. Hatinya menjadi gelap, keras hingga ia tak sungkan-sungkan melakukan pelanggar terhadap aturan syar’i.
IV.   MENCURI
a.    Pengertian Mencuri
Secara  bahasa  mencuri  adalah  mengambil  harta  atau  selainnya secara sembunyi-sembunyi.
dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa praktik pencurian
yang  pelakunya  diancam  dengan  hukuman had memiliki  beberapa  syarat berikut ini:
1.  Pelaku pencurian adalah mukallaf
2.  Barang yang dicuri milik orang lain
3.  Pencurian dilakukan dengan cara diam-diam atau sembunyi-sembunyi
4.  Barang yang dicuri disimpan di tempat penyimpanan
5.   Pencuri tidak memiliki andil kepemilikan terhadap barang yang dicuri. Jika pencuri memiliki andil kepemilikan seperti orang tua yang mencuri harta anaknya maka orang tua tersebut tidak dikenai hukuman had, walaupun ia mengambil barang anaknya yang melebihi nishab pencurian.
6. Barang yang dicuri mencapai jumlah satu nisab Praktik pencurian yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas pelakunya tidak dikenai had. Pun demikian, hakim berhak menjatuhkan hukuman ta’zir kepadanya.
b.    Pembuktian Praktik Pencurian
Disamping  syarat-syarat  di  atas, had mencuri  tidak  dapat  dijatuhkan sebelum tertuduh praktik pencurian benar-benar diyakini-secara syara’- telah melakukan pencurian yang mengharuskannya dikenai had. Tertuduh harus dapat dibuktikan melalui salah satu dari tiga kemungkinan berikut:
1.  Kesaksian dari dua orang saksi yang adil dan merdeka
2.  Pengakuan dari pelaku pencurian itu sendiri
3.  Sumpah dari penuduhJika terdakwa pelaku pencurian menolak tuduhan tanpa disertai sumpah, maka hak sumpah berpindah kepada penuduh. Dalam situasi semisal ini, jika penuduh berani bersumpah, maka tuduhannya diterima dan secara hukum tertuduh terbukti melakukan pencurian
c.     Had Mencuri
Jika pencurian telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, maka pelakunya wajib dikenakan had mencuri, yaitu potong tangan. Allah Swt. berfirman dalam surat al-Maidah ayat 38:
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٣٨
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(QS.Al-maidah:38).
dalam hadis Rasulullah  dijelaskan sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah bersabda mengenai pencuri: "jika ia mencuri (kali pertama) potonglah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri (kali  kedua)  potonglah  salah  satu  kakinya,  jika  ia  mencuri  (kali  ketiga)  potonglah  tangannya (yang lain), kemudian jika ia mencuri (kali keempat) potonglah kakinya (yang lain)." (HR. al-Daruqutni)
Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa had mencuri mengikuti urutan sebagaimana berikut:
1.   Potong tangan kanan jika pencurian baru dilakukan pertama kali
2.   Potong kaki kiri jika pencurian dilakukan untuk kali kedua
3.   Potong tangan kiri jika pencurian dilakukan untuk kali ketiga
4.   Potong kaki kanan jika pencurian dilakukan untuk kali keempat
5.  Jika pencurian dilakukan untuk kelima kalinya maka hukuman bagi pencuri adalah ta’zir dan ia dipenjarakan hingga bertaubat.
Sebagian ulama lain diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukuman potong tangan dan kaki hanya berlaku sampai pencurian kedua, yakni potong tangan kanan untuk pencurian pertama dan potong kaki kiri untuk pencurian kedua, sedangkan untuk pencurian ketiga dan seterusnya hukumannya adalah ta’zir.
d.    Nisab (kadar) Barang yang Dicuri
Para ulama berbeda pendapat terkait nisab (kadar minimal) barang yang
dicuri.
•  Menurut madzhab Hanafi, nishab barang curian adalah 10 dirham
• Menurut jumhur ulama, nishab barang curian adalah ¼ dinar emas, atau tiga dirham perak.Dalil yang dijadikan sandaran jumhur ulama terkait penetapan had nishab ¼ dinar emas atau tiga dirham perak adalah:
•  Hadis yang diriwayatkan imam Muslim dalam kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam kitab musnadnya, dimana Rasulullah Saw. bersabda:
 “Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW. Menjatuhkan had potong tangan pada pencuri seperempat dinar atau lebih.” (H.R. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah)
• Dan dalam riwayat imam Bukhori :
“Tangan dipotong (pada pencurian) ¼ dinar atau lebih.”
Adapun tentang harga dinar atau dirham selalu berubah-ubah. Satu dinar emas diperkirakan seharga 10-12 dirham. Jika dihargakan dengan emas, satu dinar setara dengan 13,36 gram emas. Jadi diperkirakan nishab barang curian adalah 3,34 gram emas (1/4 dinar).
e.    Pencuri yang Dimaafkan
Ulama  sepakat  bahwa  pemilik  barang  yang  dicuri  dapat  memaafkan pencurinya, sehingga pencuri bebas dari had sebelum perkaranya sampai ke pengadilan. Karena had pencuri merupakan hak hamba (hak pemilik barang yang dicuri).Jika perkaranya sudah sampai ke pengadilan, maka had pencuri pindah dari hak hamba ke hak Allah. Dalam situasi semisal ini, had tersebut tidak dapat gugur walaupun pemilik barang yang dicuri memaafkan pencuri, hadis riwayat Abu Dawud dan Nasa’i berikut:
Diriwayatkan   dari   Amr   bin   Syuaib,   dari   ayahnya,   dari   kakeknya:   “Sesungguhnya  Rasulullah  saw  bersabda  :  “Maafkanlah  had  selama  masih  berada  ditanganmu, adapun had yang sudah sampai kepadaku, maka wajib dilaksanakan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
f.     Hikmah Had bagi Pencuri
 Adapun hikmah dari had mencuri antara lain sebagai berikut:
1.  Seseorang tidak akan dengan mudah mengambil barang orang lain karena hal tersebut akan memunculkan efek ganda. Ia akan menerima sanksi moral yaitu malu, sekaligus mendapatkan sanksi yang merupakan hak adam yaitu had.
2.   Seseorang akan memahami betapa hukum Islam benar-benar melindungi hak milik seseorang. Karunia Allah terkait harta manusia bukan hanya dari sisi jumlahnya, lebih dari itu, saat harta tersebut telah dimiliki secara syah melalui jalur halal, maka ia akan mendapatkan jaminan perlindungan.
3.  Menghindarkan manusia dari sikap malas. Mencuri selain merupakan cara singkat memiliki sesuatu secara tidak syah, juga merupakan perbuatan tidak terpuji yang akan memunculkan sifat malas. Sifat ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam
4.  Membuat jera pencuri hingga dirinya terdorong untuk mencari rizki yang halal.
V.    PENYAMUN, PERAMPOK, DAN PEROMPAK
a.    Pengertian Penyamun, Perampok, dan Perompak
Penyamun, perampok, dan perompak adalah istilah yang digunakan untuk pengertian “mengambil harta orang lain dengan menggunakan cara kekerasan atau mengancam pemilik harta dengan senjata dan terkadang disertai dengan pembunuhan”. Perbedaannya hanya ada pada tempat kejadiannya;
•  menyamun dan merampok di darat
•  sedangkan merompak di laut
Dalam kajian fikih, praktik menyamun, merampok, atau merompak masuk dalam pembahasan hirabah atar qatut tharıq (penghadangan di jalan).
b.    Hukum Penyamun, Perampok, dan Perompak
Seperti  diketahui  merampok,  menyamun  dan  merompak  merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa. Kala seseorang merampas harta orang lain, dosanya bisa lebih besar dari dosa seorang pencuri, karena dalam praktik perampasan harta ada unsur kekerasan. Jika perampas harta sampai membunuh korbannya, maka dosanya menjadi lebih besar lagi, karena ia telah melakukan perbuatan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan agama. Maka wajar adanya, jika perampok, penyamun, dan perompak mendapatkan hukuman ganda. Ia dikenai had, dan diancam hukuman akhirat yang berupa adzab dahsyat. Allah Swt. berfirman:
ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣
Artinya : Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (QS. Al-Maidah : 33)
c.     Had Perampok, Penyamun, dan Perompak
Had perampok, penyamun, dan perompak secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 33:
ِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣
Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Dari ayat di atas para ulama sepakat bahwa had perampok, penyamun, dan perompak berupa : potong tangan dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh dan diasingkan dari tempat kediamannya.Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai had yang disebutkan dalam ayat tersebut, apakah ia bersifat tauzî’î dimana satu hukuman disesuaikan dengan perbuatan yang dilakukan seseorang, atau had tersebut bersifat takhyiri sehingga seorang hakim bisa memilih salah satu dari beberapa pilihan hukuman yang ada.Jumhur ulama sepakat bahwa hukuman yang dimaksudkan dalam suratal-Maidah ayat 33 bersifat tauz’i. Karenanya, had dijatuhkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan seseorang. Berikut simpulan akhir pendapat mayoritas ulama terkait had yang ditetapkan untuk perampok, penyamun, dan perompak:
1.  Jika seseorang merampas harta orang lain dan membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib
2.  Jika seseorang tidak sempat merampas harta orang lain akan tetapi ia membunuhnya, maka hadnya adalah dihukum mati.
3. Jika seseorang merampas harta orang lain dan tidak membunuhnya maka hadnya adalah dihukum potong tangan dan kaki secara menyilang.
4.   Jika seseorang tidak merampas harta orang lain dan tidak juga membunuhnya semisal kala ia hanya ingin menakut-nakuti, atau kala ia akan melancarkan aksi jahatnya ia tertangkap lebih dulu, dalam keadaan seperti ini, ia dijatuhi hukuman had dengan dipenjarakan atau diasingkan ke luar wilayahnya.Perlu dijelaskan bahwa hukuman mati terhadap perampok, penyamun, dan perompak yang membunuh korbannya berdasarkan had bukan qishash, sehingga tidak dapat gugur walaupun dimaafkan leh keluarga korbanSebagian  ulama  salaf  berpendapat  bahwa had perampok,  penyamun, perompak yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 33 bersifat takhyiri hingga hakim boleh memilih salah satu jenis hukuman yang disebutkan dalam ayat tersebut.
d.    Perampok, Penyamun, dan Perompak Yang Taubat
Taubatnya perampok, penyamun, dan perompak setelah tertangkap tidak dapat  mengubah  sedikitpun  ketentuan  hukum  yang  ada  padanya.  Namun jika mereka bertaubat sebelum tertangkap, semisal menyerahkan diri dan menyatakan taubat dengan kesadaran sendiri, maka gugurlah had. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt.:        
إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبۡلِ أَن تَقۡدِرُواْ عَلَيۡهِمۡۖ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣٤
Artinya : kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
               Diisyaratkan dalam ayat tersebut bahwa Allah Swt. akan mengampuni mereka (perampok, penyamun, perompak) yang bertaubat sebelum tertangkap. Ayat ini menunjukkan bahwa had yang merupakan hak Allah dapat gugur, jika yang bersangkutan bertaubat sebelum tertangkap.
e.    Hikmah Pengharaman Merampok, Menyamun dan Merompak
Prinsipnya, hikmah pengharaman merampok, menyamun, dan merompaksama dengan hikmah pengharaman mencuri.
VI. BUGHAT (PEMBANGKANG)
a.    Pengertian Bughat
                 Kata  bugootun adalah jamak dari isim fail baagin  Akar katanya bago-yabgi yang berarti: mencari, dan dapat pula berarti maksiat, melampaui batas, berpaling dari kebenaran, dan dzalim.Adapun bughat dalam pengertian syara’ adalah orang-orang yang menentang atau memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara sah. Tindakan yang dilakukan bughat bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang sah, membangkang perintah pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang dibebankan kepada mereka.  Seorang baru bisa dikategorikan sebagai bughat dan dikenai had bughat jika beberapa kriteria ini melekat pada diri mereka:
1.  Memiliki kekuatan, baik berupa pengikut maupun senjata. Dari kriteria ini bisa disimpulkan bahwa penentang imam yang tak memiliki kekuatan dan senjata tidak bisa dikategorikan sebagai bughat.
2.  Memiliki takwil (alasan) atas tindakan mereka keluar dari kepemimpinan imam    atau tindakan mereka menolak kewajiban.
3. Memiliki pengikut yang setia kepada mereka.munculnya  ultimatum  itu  mereka  meminta  waktu,  maka  harus  diteliti terlebih dahulu apakah waktu yang diminta tersebut akan digunakan untuk memikirkan  kembali  pendapat  mereka,  atau  sekedar  untuk  mengulurwaktu. Jika ada indikasi jelas bahwa mereka meminta penguluran waktu untuk  merenungkan  pendapat-pendapat  mereka,  maka  mereka  diberi kesempatan, akan tetapi sebaliknya, jika didapati indikasi bahwa mereka meminta  penguluran  waktu  hanya  untuk  mengulur-ulur  waktu  maka mereka tak diberi kesempatan untuk itu.
4. Jika mereka tetap tidak mau taat, maka tindakan terakhir adalah diperangi sampai mereka sadar dan taat kembali.
c.     Status Hukum Pembangkang
Kalangan bughat tidak dihukumi kafir. Allah sampaikan hal ini dalam firman-nya pada surat  al-Hujurat ayat 9:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِن وَرَآءِ ٱلۡحُجُرَٰتِ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ ٤
 Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.
              Pembangkang yang taubat, taubatnya diterima dan ia tidak boleh dibunuh. Oleh sebab itu, para bughat yang tertawan tidak boleh diperlakukan secara sadis, lebih-lebih dibunuh. Mereka cukup ditahan saja hingga sadar. Adapun  harta  mereka  yang  terampas  tidak  boleh  disamakan  dengan ghanimah. Karena setelah mereka sadar, harta tersebut kembali menjadi harta mereka. Bahkan jika didapati kalangan bughat yang terluka saat perang, mereka tidak boleh serta merta dibunuh. Terkait hal ini Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa kala terjadi perang Jamal, Ali menyuruh agar diserukan: “Yang telah mengundurkan diri jangan dikejar, yang luka-luka jangan segera dimatikan, yang tertangkap jangan dibunuh, dan barang siapa yang meletakkan senjatanya harus diamankan.









[1] Muhammad ibnu qosim, fathul qorib mujib ,( ttt: ttth), 68
[2] Abu Suja` Ahmad Bin Al-Husaini, Terjemah Matan Al Ghayyah Wattaqrib,(Surabaya: Al Miftah, 2011), 209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar